Sebanyak 305 proyek properti baru di Indonesia, baik gedung bertingkat maupun kawasan perumahan, telah disertifikasi sebagai bangunan hijau.
Jumlah ini lebih rendah daripada Singapura, yang memiliki lebih dari 1.000 bangunan properti yang telah menerima sertifikasi hijau.
Komite Tetap Riset Badan Pengembangan Kawasan Properti Terpadu (BPKPT) Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Ignesjz Kemalawarta mengatakan bahwa pihaknya tengah mendorong gedung dan kawasan perumahan di Indonesia untuk dilakukan sertifikasi hijau. Dalam 3 tahun mendatang, diharapkan akan ada 500an proyek properti yang tersertifikasi hijau.
“Kami coba meningkatkan jumlah sertifikasi dulu karena baru mencapai 305 proyek yang tersertifikasi, ini kalah dengan Singapura yang sudah 1.000an proyek. Kami terus sosialisasi dan Kadin pun akan meluncurkan panduan atau pedoman untuk real estat baik bagi pengembang kecil, menengah dan besar untuk membangun proyek properti dengan sertifikasi hijau,” ujarnya saat ditemui Bisnis, Kamis (6/2/2025).
Menurutnya, jumlah proyek properti bersertifikat hijau di Indonesia masih kecil karena orang kurang menyadari pentingnya bangunan ramah lingkungan, yang menyumbang 40% emisi karbon.
Selain itu, biaya konstruksi untuk membangun bangunan yang hijau dan ramah lingkungan mengalami kenaikan 3% hingga 4%. Namun, dalam jangka panjang kenaikan biaya konstruksi bangunan tersebut dikompensasi dengan efisiensi energi yang didapat selama umur bangunan 40 tahun.
Dia menjelaskan bahwa bangunan konvensional yang tidak memiliki sertifikasi hijau menggunakan kaca biasa, yang tidak dapat menghalau panas, sehingga meningkatkan penggunaan pendingin ruangan (AC). Ini berbeda dengan bangunan hijau yang menggunakan kaca ganda low carbon, yang mahal tetapi dapat menghalau panas, sehingga menghemat energi.
“Banyak yang kesadarannya masih kurang, jadi green building itu akan ada biaya tambahan 3% hingga 4% konstruksinya, ini dirasa memberatkan pengembang. Namun kalau membangun green building, maka umur bangunan 40 tahun akan menikmati energy saving. Efisiensi energinya sekitar 30%,” kata Ignesjz.
BUTUH DUKUNGAN INSENTIF
Menurutnya, pemerintah harus memberikan insentif untuk meningkatkan jumlah bangunan yang tersertifikasi hijau. Karena biaya awal konstruksi bangunan hijau mencapai 4%, akan sulit untuk meningkatkan jumlah bangunan hijau tanpa insentif.
“Malaysia, Singapura, Filipina, pemerintah memberikan insentif untuk memperbanyak bangunan bersertifikat hijau. Hanya Indonesia saja yang tidak ada insentif bangunan hijau. Singapura ada insentif pemberian uang, KLB (koefisien luas bangunan), dan lainnya,” ucapnya.
Dia menilai dengan adanya insentif, orang akan lebih sadar akan bangunan bersertifikat hijau. Pemerintah Indonesia diharapkan memberikan insentif dalam bentuk uang, KLB, pajak, dll.
“Misalnya kalau berupa uang bisa mengkompensasi kenaikan biaya konstruksi bangunan hijau. Lalu insentif pajak, pajak bumi dan bangunan (PBB) bisa diberikan diskon 30% selama 3 tahun untuk bangunan bersertifikat hijau ini lumayan. Kami terus mendorong agar insentif ini keluar,” tuturnya.
Ignesjz mengatakan bahwa dengan sertifikasi bangunan hijau, pengembang juga dapat mendapatkan pendanaan hijau dari bank dan lembaga keuangan lainnya. Dia mencontohkan proyek perumahan Sinar Mas Land yang menerima sertifikasi greenship dari Green Building Council Indonesia (GBCI), yang memungkinkan mereka mendapatkan pendanaan KPR hijau dengan tingkat bunga yang lebih rendah daripada KPR konvensional.
Dalam proses mendapatkan sertifikasi hijau di proyek perumahan tersebut melalui 2 tahap yakni sertifikasi penilaian dan sertifikasi pengujian emisi karbon dari 5 material utama mulai dari energy saving, low carbon, waste management, water management, dan material bangunan.
“Memang dengan sertifikasi hijau bisa mendapatkan pembiayaan hijau seperti green bond, green mortgage, green home buyer. Saat ini paling mudah green home buyer karena syaratnya tidak banyak tapi bisa bermanfaat bagi konsumen, pengembang dan perbankan itu sendiri. Kalau green bond syaratnya banyak tapi yang didapat yang sedikit. Green financing masih omon-omon cukup panjang,” terangnya.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Badan Pengembangan Kawasan Properti Terpadu (BPKPT) Kadin Indonesia Budiarsa Sastrawinata berpendapat pembiayaan hijau di sektor properti merupakan salah satu cara untuk mendukung pengembangan properti yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
“Selain sumber pembiayaan hijau, perlu dicari juga skema khusus yang memang cocok dan bisa diaplikasikan di sektor properti di Indonesia,” ujarnya.
Menurutnya, pembiayaan hijau di industri properti memiliki banyak keuntungan, termasuk mengurangi dampak lingkungan dari berbagai proyek properti, meningkatkan efisiensi energi, meningkatkan nilai properti dan kualitas lingkungan, dan mengurangi biaya operasional proyek.
Dia mencontohkan bahwa pembiayaan hijau dapat diterapkan untuk pembangunan bangunan hijau dan proyek energi baru terbarukan.
“Pelaku usaha yang juga sebagai bagian dari komunitas yang punya perhatian khusus pada lingkungan dan keberlanjutan, akan melakukan upaya untuk terus mendorong penerapan Environmental, Social, and Governance (ESG),” katanya.
Budiarsa berharap ke depan terdapat berbagai platform pembiayaan alternatif yang memungkinkan banyak orang untuk berkontribusi dalam pendanaan proyek yang ramah lingkungan.
Business Development Director Asia GRESB Trey Archer menuturkan investasi pengembangan di sektor hijau akan menjadi tren baru yang sejalan dengan kebutuhan kualitas hidup manusia terhadap kelestarian lingkungan.
Selain peningkatan terhadap efisiensi energi, penerapan praktik ESG dalam industri properti juga dapat meningkatkan efisiensi terhadap pembiayaan dan operasional dalam jangka panjang.
“Dalam real estat yang berkelanjutan dan keuangan hijau yang sangat penting untuk membentuk masa depan yang lebih hijau di sektor ini,” ucapnya.
Namun demikian, dia menegaskan bahwa tidak banyak bangunan di Indonesia yang memiliki sertifikat hijau. Menurutnya, intervensi pemerintah dengan insentif diperlukan untuk meningkatkan jumlah bangunan hijau di Indonesia. Pemerintah diharapkan dapat memberikan keringanan pajak berupa pajak penghasilan (PPh) final dan pajak bumi bangunan (PBB) bagi properti yang bersertifikat hijau.
Pemerintah dapat memberikan insentif berupa subsidi teknologi hijau seperti panel surya atau sistem pengelolaan air yang efisien. Lalu juga dapat diberikan kemudahan perizinan bagi proyek properti yang mengadopsi konsep ramah lingkungan.
“Insentif pembiayaan dari lembaga keuangan berbasis ESG juga diperlukan,” tutur Trey.
KOMITMEN NZE PEMERINTAH
Sementara itu, Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman Maruarar Sirait mengatakan pihaknya mendorong pembangunan perumahan yang menerapkan Bangunan Gedung Hijau (BGH) untuk mewujudkan emisi bebas karbon (net zero emission/NZE).
Menurutnya, peran sektor properti yang menjadi sangat penting untuk memenuhi tujuan internasional dalam mencapai emisi bebas karbon. Isu pemanasan, pendinginan, pencahayaan bangunan sampai dengan infrastruktur disebut menjadi kontributor utama terwujudnya emisi bebas karbon.
“Saya berusaha melakukan sesuatu yang terbuka mengenai ESG tersebut, yang penting memberikan manfaat untuk negara, rakyat dan dunia usaha. Kita diminta membuat kebijakan yang pro rakyat,” ujarnya.
Dalam hal mendukung NZE, Kementerian PKP menerapkan bangunan gedung hijau (BGH) untuk mengurangi isu lingkungan yang terjadi di Indonesia. Ruang lingkup BGH sendiri meliputi bangunan gedung hijau, hunian hijau masyarakat, kawasan hijau dan pengubahsuaian.
Parameter penilaian BGH meliputi pengelolaan tapak, efisiensi penggunaan energi, efisiensi penggunaan air, kualitas udara dalam ruang, material ramah lingkungan, pengelolaan sampah dan pengelolaan limbah.
Emisi bebas karbon merupakan sebuah konsep dalam konteks perubahan iklim. Konsep ini mengacu pada kondisi dimana jumlah emisi gas rumah kaca yang dilepaskan ke atmosfer sama dengan jumlah emisi yang dihapus dari atmosfer melalui berbagai tindakan mitigasi.
Dengan kata lain, emisi bebas karbon dapat didefinisikan sebagai upaya untuk mengurangi atau menghilangkan emisi gas rumah kaca sebanding dengan jumlah emisi yang dilepaskan sehingga konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer tidak meningkat secara keseluruhan.
Tujuan akhir dari konsep NZE adalah untuk mencapai keseimbangan antara emisi dan penghapusan emisi agar tidak ada kontribusi tambahan terhadap pemanasan global dan efek rumah kaca.