Peminat dan para pekerja di bidang sustainability akhir-akhir ini mendiskusikan topik hangat seputar perdagangan karbon. Intensitas diskusi semakin meningkat ketika Undang – Undang No. 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan resmi diberlakukan. Pasalnya, ada tema bursa karbon yang diberikan payung hukum, meskipun, mengikuti petunjuk UU tersebut, aturan rincinya menanti rilis resmi dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Merujuk kepada aturan yang lahir sebelumnya, UU di atas dapat dipahami sebagai penegasan komitmen negara terhadap perubahan iklim. Ini dapat dilihat pada bagian konsiderans dalam Perpres No. 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon yang menyebutkan bahwa karbon merupakan indikator universal dalam pengukuran usaha pengendalian perubahan iklim. Selain itu, karbon juga memiliki nilai ekonomi bagi negara.
Publikasi Indonesian Carbon Trading Handbook dari Katadata Insight Center tahun 2022 menunjukkan bahwa Indonesia memiliki potensi pendapatan sekitar Rp. 8000 triliun jika harga per kredit karbon dijual seharga USD 5 per ton. Ini diestimasi dari 125,9 juta ha hutan tropis, 3,31 juta ha hutan mangrove, dan 7,5 juta ha lahan gambut. Keseluruhan area tersebut diperkirakan dapat menyerap sekitar 113 miliar ton karbon.
Jumlah fantastis ini barangkali membuat optimisme meningkat dengan sudah adanya payung hukum terhadap bursa karbon. Selain manfaat ekonomi yang signifikan bagi negara, perusahaan – perusahaan memiliki wadah baru dalam mengelola emisi yang dihasilkan selain perdagangan karbon langsung dan sukarela selama ini.
Aspek yang perlu diperhatikan adalah potensi penyalahgunaan bursa karbon yang diperkirakan akan mulai dieksekusi September 2023 nanti. Hal ini belajar dari beberapa kasus pada mekanisme carbon offset yang disalahgunakan untuk dapat mengklaim perusahaan hijau atau ramah lingkungan. Suatu usaha yang biasanya diistilahkan dengan greenwashing. Pada bursa karbon pun terdapat peluang semacam itu, para pembeli unit karbon dapat mengklaim bahwa perusahaan mereka telah ramah lingkungan dengan membeli sekian unit karbon.
Padahal, dalam reduksi emisi mekanisme utamanya adalah bersifat in-house atau dari sisi internal perusahaan sendiri. Offsetting, begitu juga mekanisme bursa karbon nantinya, hanyalah bagian dari upaya perusahaan dalam melakukan reduksi emisi setelah memaksimalkan usaha dari dalam. Mulai dari penggunaan teknologi dan peralatan ramah lingkungan, pengurangan aktivitas perjalanan bisnis, efisiensi penggunaan air dan seterusnya. Karena melakukan carbon offset dan berpartisipasi dalam bursa karbon tidaklah mengurangi jejak karbon perusahaan bersangkutan.
Grace Smoot dari Impactful Ninja membagi greenwashing ke dalam tiga kategori menurut tingkat emisi yang diturunkan dan banyaknya pengunaan carbon offset. Pertama adalah zero greenwashing, perusahaan melakukan reduksi emisi sebagai langkah awal, baru kemudian melakukan carbon offset. Kedua, moderate greenwashing hanya melakukan sebagian reduksi emisi ataupun tidak lalu melakukan carbon offset baik setengah – setengah maupun keseluruhan. Terakhir adalah severe greenwashing berupa ketiadaan upaya reduksi emisi sembari melakukan carbon offset dengan separuh hati ataupun tidak sama sekali.
Kategori di atas menyorot unsur greenwashing atas dasar kesengajaan atau upaya mengelabui publik dengan berbagai inisiatif ramah lingkungan suatu perusahaan. Greenwashing juga berpeluang terjadi lantaran rumitnya proses untuk memahami dan juga mengkalkulasi seberapa “hijau” suatu perusahaan. Ini belum termasuk seberapa besar usahanya untuk memastikan bahwa semua pemangku kepentingan dalam rantai bisnisnya juga hijau.
Di saat yang sama, perusahaan juga dituntut untuk semakin transparan dalam aktivitas bisnisnya. Pada titik ini, overclaim dapat saja terjadi untuk mengompromikan dua hal, transparansi dan penjagaan citra perusahaan yang berpotensi ke arah tuduhan greenwashing.
Secara praktis, penguatan monitoring dan manajemen data menjadi kunci dalam mengawasi dan mengevaluasi berbagai klaim dan inisiatif hijau. Ini berlaku baik bagi pemerintah yang meregulasi urusan karbon maupun bagi perusahaan yang menjalankannya.
Bagi pemerintah, adanya sistem MRV (Measurement, Reporting, Verification) yang baku mempermudah implementasi kebijakan dan pengawasannya. Mulai dari metodologi pengukuran karbon, pengungkapan hingga kriteria pihak ketiga yang bekerja untuk memastikan kesahihan pengukuran tersebut. Hasilnya, antara lain dapat memberikan komparasi antar sektor, antar periode termasuk juga gambaran perkembangan ihwal karbon secara nasional.
Untuk perusahaan, ketersediaan data yang baik memampukannya untuk melakukan pengawasan atas berbagai aktivitas yang membuatnya semakin ramah lingkungan. Data memberikan informasi mengenai tahun dasar, perkembangan antar waktu, sekaligus menjadi bahan baku untuk menilai efektivitas suatu inisiatif maupun efisiensinya secara biaya. Data juga dapat memberikan pemahaman tentang posisi suatu perusahaan dibandingkan dengan kompetitornya di sektor sejenis dalam urusan karbon.
Hal di atas dibarengi dengan penjagaan kualitas data kunci yaitu seberapa besar emisi yang dihasilkan aktivitas perusahaan. Penting untuk senantiasa memperhatikan: data scope 1 yaitu emisi yang langsung berasal dari aktivitas bisnis perusahaan seperti kendaraan bermotor; data scope 2 yakni emisi yang dihasilkan dari pembelian seperti listrik, pemanas, dan pendingin; serta scope 3 merupakan emisi tidak langsung yang berasal dari penyuplai dan pelanggan.