Environmental, Social and Governance (ESG), saat ini tidak asing di kalangan investor. Secara umum, konsep ini merujuk pada seperangkat metrik yang digunakan untuk mengevaluasi dampak ekologis dan sosial suatu organisasi.

Sejak beberapa tahun terakhir, ESG telah menjadi parameter penting bagi investor dalam membuat keputusan. Meskipun konsep ESG pertama kali diperkenalkan sebagai sebutan pada tahun 2004 oleh United Nations Global Compact. Substansi dan konsep itu sendiri telah ada sejak lama, bahkan sejak tahun 1960-an.

Pada tahun 1970-an, socially responsible investing (SRI) digunakan sebagai alat yang memungkinkan investor memodifikasi portofolio sesuai dengan nilai-nilai yang mereka tetapkan.

SRI memiliki peran penting dalam mengakhiri pemerintahan apartheid di Afrika Selatan. Oposisi internasional terhadap apartheid menguat setelah pembantaian Sharpeville tahun 1960.

Pada tahun 1971, Pendeta Leon Sullivan (pada saat itu anggota dewan General Motors) merancang kode etik untuk menjalankan bisnis di Afrika Selatan yang kemudian dikenal sebagai Prinsip Sullivan.

Namun, laporan yang mendokumentasikan penerapan Prinsip Sullivan mengatakan bahwa perusahaan-perusahaan AS tidak berusaha mengurangi diskriminasi di Afrika Selatan. Karena laporan-laporan ini dan meningkatnya tekanan politik, maka kota-kota, negara bagian, perguruan tinggi, kelompok-kelompok berbasis agama dan dana pensiun di seluruh AS mulai menarik investasi dari perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Afrika Selatan.

Pada tahun 1976, Perserikatan Bangsa-Bangsa memberlakukan embargo senjata wajib terhadap Afrika Selatan. Dari tahun 1970-an hingga awal 1990-an, lembaga-lembaga besar menghindari investasi di Afrika Selatan di bawah apartheid.

Arus investasi negatif berikutnya akhirnya memaksa sekelompok bisnis, yang mewakili 75% pengusaha Afrika Selatan, untuk menyusun piagam yang menyerukan diakhirinya apartheid.

Meskipun upaya SRI sendiri tidak mengakhiri apartheid, namun upaya tersebut berhasil memfokuskan tekanan internasional yang persuasif pada komunitas bisnis Afrika Selatan.

Pada tahun 1995, Forum Investasi Sosial Amerika Serikat (U.S. Social Investment Forum/SIF) menerbitkan daftar semua investasi berkelanjutan di Amerika Utara. Totalnya $639 miliar, menyoroti sejauh mana pemegang saham mulai berinvestasi berdasarkan prinsip, bukan hanya sekadar profit.

Investor juga mulai menyadari bahwa fokus pada isu-isu ESG seperti jejak karbon, memiliki potensi untuk meningkatkan performa finansial dan manajemen risiko. Oleh karena itu, dibutuhkan pengembangan strategi dan metrik ESG untuk mengukur dampak lingkungan dan sosial dari investasi mereka. Global Reporting Initiative (GRI) terbentuk pada tahun 1997 untuk menangani isu-isu lingkungan, tetapi kemudian mengubah fokusnya untuk mencakup isu-isu sosial dan tata kelola.

Pada tahun 1998, John Elkington menerbitkan buku berjudul “Cannibals with Forks, the Triple Bottom Line of 21st Century Business,” yang secara signifikan memberi popularitas pada konsep triple bottom line, salah satu paradigma keberlanjutan yang menjelaskan tiga poin penting, yaitu people, planet, dan profit.

Elkington ingin memberi bobot pada perhitungan yang semakin berharga di luar keuangan ketika mengevaluasi bisnis. Dia juga ingin dapat mendorong bagaimana semua bisnis bisa dan harus membantu masyarakat mencapai tiga tujuan yang saling terkait yaitu kemakmuran ekonomi, perlindungan lingkungan, dan kesetaraan sosial, yang mana ketiganya merupakan isu-isu yang sudah menjadi agenda utama perusahaan.

Perkembangan ESG abad ke-21

Pada awal milenium ke-21, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Milenium di New York menciptakan platform bagi pemimpin dunia untuk membahas peran mereka dalam zaman baru. Dalam pertemuan tiga hari, mereka menetapkan prinsip-prinsip tentang berbagai isu, seperti Hak Asasi Manusia, Kondisi Kerja, Lingkungan hidup, dan antikorupsi.

Setelah konferensi tersebut, terciptalah MDGs, atau Tujuan Pembangunan Milenium, yang menekankan delapan tujuan pembangunan global yang harus dicapai pada tahun 2015.

Pada tahun yang sama, Carbon Disclosure Project (CDP) dibentuk. CPD dimaksudkan untuk mendorong investor untuk meminta perusahaan melaporkan dampak iklim. Hal ini dimaksud untuk menormalkan praktik pelaporan ESG. Dorongan ini mendapatkan respon positif. Sebanyak 245 perusahaan telah menyampaikan laporan kepada 35 investor yang meminta pengungkapan iklim.

Pada tahun 2004, ESG telah terlihat secara resmi dalam suatu laporan dengan judul “Who Cares Wins,” yang pada saat itu mencapai arus utama untuk pertama kalinya. Di dalam laporan ini, disampaikan cara mengintegrasikan faktor ESG ke dalam operasi bisnis perusahaan, yakni dengan menjabarkan konsep ESG ke dalam komponen dasar: environmental, social, governance, dan Good Corporate Governance (GCG).

Pada tahun-tahun berikutnya, prinsip dan kerangka kerja lebih banyak dikembangkan, memberikan arahan yang lebih mendalam pada perusahaan tentang bagaimana mereka bisa mengintegrasikan ESG dengan GCG dan melaporkan faktor-faktor ESG.

Beberapa kerangka kerja yang sangat populer adalah Principles for Responsible Investment (PRI), Climate Disclosure Standards Board (CDSB), dan Sustainability Accounting Standards Board (SASB). Prinsip-prinsip dari kerangka kerja ini masih populer digunakan oleh perusahaan dan investor hingga saat ini.

Integrasi ESG dengan SDGs

Konsep MDGs dianggap telah gagal oleh berbagai negara dalam mencapai tujuannya hingga 2014. MDGs digantikan oleh konsep Sustainable Development Goals (SDGs) pada tahun 2015. SDGs menjelaskan tujuh belas tujuan pembangunan keberlanjutan dan agenda global untuk pembangunan berkelanjutan yang akan menciptakan masa depan yang lebih baik dan berkelanjutan pada tahun 2030 dengan harapan bahwa kualitas hidup akan meningkat.

Secara lebih umum, SDGs merupakan target-target konkret (169 target) dengan indikator yang spesifik untuk mengukur pencapaiannya. Dengan adanya SDGs, ESG tidak lagi menjadi sesuatu yang didebatkan, tetapi sesuatu yang bisa (dan harus) diterapkan dan diukur.

Sejak adanya SDGs, investor terus meminta lebih banyak informasi keuangan tentang perusahaan berkaitan dengan iklim, dan regulator mulai membuat persyaratan pelaporan baru untuk perusahaan. Atas dasar ini, Taskforce on Climate-related Financial Disclosure (TCFD) didirikan pada tahun 2015.

Pada tahun 2017, 140 CEO secara kolektif menandatangani Compact for Responsive and Responsible Leadership yang dikembangkan oleh World Economic Forum. Para penandatangan setuju untuk bekerja bersama dalam mendukung implementasi SDGs PBB-tantangan yang diuji pada tahun 2020.

Namun, krisis global akibat pandemi COVID-19 pada awal 2020 membuat sekelompok investor takut bahwa perusahaan akan meninggalkan program-program inisiatif ESG mereka demi mempertahankan hidup. Tetapi pada saat yang sama, suatu penemuan menarik dibuat: perusahaan dengan kinerja ESG yang lebih baik lebih siap dalam menghadapi pandemi karena mereka telah memperhitungkan kemungkinan gangguan.

ESG yang ada dan ESG masa depan bukan lagi konsep opsional, tetapi sudah menjadi prinsip yang biasa digunakan bagi perusahaan dan investor. Sekarang, informasi ESG digunakan untuk menilai kinerja perusahaan dalam isu tertentu. Misalnya, emisi karbon per unit pendapatan bisa digunakan untuk menilai kinerja perusahaan terhadap lingkungan, dan pengukuran kinerja karyawan bisa digunakan untuk menilai kebijakan ketenagakerjaan perusahaan.

Berbagai lembaga akademik dan firma riset terus mengembangkan berbagai strategi dan indikator ESG untuk menyediakan analisis dan data untuk membantu perusahaan mengukur kinerja ESG. Salah satu firma yang populer saat ini yaitu Morningstar Sustainalytics. Firma ini juga menyediakan penelitian, peringkat, dan data lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) yang berkualitas tinggi dan analitis untuk investor institusional dan perusahaan.

Rating dan indeks ESG telah menjadi persoalan umum dalam beberapa tahun terakhir. Morgan Stanley Capital International (MSCI) juga menawarkan berbagai indeks ESG yang memungkinkan investor untuk melacak perusahaan berdasarkan kinerja ESG mereka. Indeks-indeks ini telah menjadi populer di kalangan investor yang ingin mengintegrasikan faktor ESG ke dalam portofolio mereka. Karena dunia menghadapi tantangan yang semakin meningkat terkait perubahan iklim dan masalah sosial, pertimbangan ESG akan terus memainkan peran penting dalam cara perusahaan dan investor beroperasi dan mengukur kinerja mereka.

Sumber:

(2020). Report on US Sustainable and Impact Investing Trends. US SIF

Adams, Carol A. (2022). Subhash Abhayawansa, Connecting the COVID-19 pandemic, environmental, social and governance (ESG) investing and calls for ‘harmonisation’ of sustainability reporting, Critical Perspectives on Accounting, vol. 82. https://doi.org/10.1016/j.cpa.2021.102309.

Elkington, J., & Rowlands, I. H. (1999). Cannibals with forks: The triple bottom line of 21st century business. Alternatives Journal25(4), 42.

Morrison, Richard. Environmental, Social, and Governance Theory Defusing a Major Threat to Shareholder Rights. Washington, D.C: Competitive Enterprise Institute 2021.

Norton, Leslie P.  and Blue, Charity. ESG Turns 20: A Brief History, and Why It’s Not Going Away. Morningstar.com. 22 Juni 2024.

Richardson, Benjamin J. (2008). Socially Responsible Investment Law: Regulating the Unseen Polluters, Oxford University Press. Available at SSRN: https://ssrn.com/abstract=1128704

You may also like