Komisi Eropa, badan eksekutif Uni Eropa (UE), berencana untuk melonggar aturan utama pelaporan keberlanjutan perusahaan. Ini dapat menghalangi investor untuk menyediakan dana untuk target iklim.
Sejak kesepakatan iklim Paris dibuat pada 2015, Eropa telah menjadi pemimpin dalam transisi ekonomi menuju emisi nol bersih atau net zero emissions (NZE) 2050. Ini termasuk dalam taksonomi investasi hijau.
Uni Eropa tercatat telah mewajibkan perusahaan untuk mengungkap jejak lingkungan mereka. Aturan tersebut telah mendorong lonjakan produk keuangan baru di Eropa yang selaras dengan target iklim blok tersebut, termasuk pemangkasan emisi bersih sebesar 55% pada 2030.
Namun demikian, kepemimpinan Uni Eropa saat ini berada di persimpangan. Komisi Eropa pekan lalu mengajukan proposal untuk meringankan beban pelaporan perusahaan, termasuk laporan lingkungan.
Industri dan beberapa negara anggota UE semakin mendesak untuk meningkatkan daya saing usaha, yang mendorong pengajuan proposal ini. Dengan mundurnya Amerika Serikat dari tindakan iklim di bawah kepemimpinan Presiden Trump, UE juga mengalami pergeseran.
Selain memangkas jumlah perusahaan yang wajib melaporkan data lingkungan mereka, Uni Eropa juga mengusulkan revisi terhadap undang-undang uji tuntas rantai pasok yang menjadi tonggak penting serta melonggarkan sanksi bagi pelanggar aturan tersebut.
Pendukung kebijakan mengatakan bahwa langkah ini akan memberi perusahaan lebih banyak waktu untuk berkonsentrasi pada upaya nyata untuk mengurangi emisi daripada hanya memenuhi kewajiban administratif. Namun, kritikus mengatakan bahwa kebijakan ini dapat mengurangi transparansi dan membuat lebih sulit untuk membandingkan tindakan perusahaan satu sama lain.
“Dengan memperkenalkan pengecualian luas dan penundaan, proposal ini berisiko melemahkan tujuan keberlanjutan yang krusial,” ujar Hyewon Kong, Direktur Investasi Berkelanjutan di investor Gresham House seperti dikutip dari Reuters.
Komisi Eropa berencana menurunkan jumlah perusahaan yang diharuskan melaporkan data emisi mereka sesuai dengan aturan Corporate Sustainability Reporting Directive, serta menunda batas waktu pelaporan bagi perusahaan lain. Selain itu, rencana untuk menerapkan standar pelaporan khusus per sektor telah dibatalkan oleh lembaga yang berbasis di Brussels.
Ashley Hamilton Claxton, Kepala Investasi Bertanggung Jawab di Royal London Asset Management, menyambut baik penyederhanaan regulasi yang dianggapnya telah menjadi terlalu rumit. Namun, ia menyayangkan penghapusan standar sektoral dan menyebutnya sebagai sebuah “kemunduran”.
“Informasi ini sangat penting untuk menilai sejauh mana keselarasan perusahaan dengan target Perjanjian Paris,” katanya.
Pejabat Uni Eropa menegaskan bahwa langkah ini tidak akan melemahkan target iklim blok tersebut dan justru akan mempermudah perusahaan dan investor dalam mengimplementasikannya.
Namun, Nathan Fabian, Kepala Sistem Keberlanjutan di jaringan investor Principles for Responsible Investment, yang didukung PBB, memperingatkan bahwa kebijakan ini akan secara signifikan mengurangi jumlah investor yang dapat memperoleh informasi yang mereka butuhkan.
Marjella Lecourt-Alma, CEO Datamaran Data, mengatakan bahwa meskipun sebagian besar perusahaan besar masih akan tunduk pada aturan ini, pengurangan kewajiban pengungkapan dapat membuat investor lebih sulit untuk memahami risiko yang mempengaruhi valuasi aset.
Sementara perusahaan kecil diperbolehkan melaporkan secara sukarela, aturan yang diusulkan akan membatasi jumlah informasi keberlanjutan tambahan yang dapat diminta oleh bank dan investor lain dari mereka.
Kepala Divisi Perusahaan Bertanggung Jawab di kelompok advokasi Frank Bold, Filip Gregor, memperingatkan bahwa aturan ini dapat menciptakan risiko hukum bagi pihak yang meminta perusahaan untuk memberikan lebih banyak informasi keberlanjutan.
Selain itu, laporan perusahaan yang berkaitan dengan taksonomi aktivitas hijau akan disesuaikan, sehingga 80% perusahaan dibebaskan dari kewajiban pengungkapan.
Matthew Fisher, Kepala Kebijakan di perusahaan keberlanjutan Watershed, mengatakan bahwa Brussels dapat menghambat pencapaian target pengurangan emisi Uni Eropa pada tahun 2030 jika mereka menunda batas waktu pelaporan.
“Jika transparansi dan pengungkapan informasi ditunda, ini justru merusak tujuan ambisius yang telah ditetapkan,” ujarnya. “Pada dasarnya, dua hal ini tidak konsisten.”
Hingga akhir tahun 2024, Uni Eropa akan tetap menjadi pusat investasi berkelanjutan di seluruh dunia. Menurut data dari Morningstar Sustainalytics, arus masuk ke dana berkelanjutan (sustainability fund) pada kuartal IV/2024 mencapai US$18,5 miliar, naik signifikan daripada kuartal III/2024 sebesar US$8,9 miliar.
Secara global, arus masuk dana berkelanjutan berada di angka US$16 miliar. Nilai itu naik dari posisi kuartal III/2024 sebesar US$9,2 miliar.
Meski tumbuh secara kuartalan, laporan Morningstar Sustainalytics mengungkap bahwa net inflow dana berkelanjutan sepanjang 2024 turun signifikan dibandingkan dengan 2023.
Arus masuk dana berkelanjutan global mencapai puncaknya sebesar US$645 miliar pada 2021. Kemudian anjlok 75% pada 2022 di tengah inflasi tinggi dan perang Rusia-Ukraina.
Arus dana berkelanjutan tetap memperlihatkan ketahanan pada 2023 seiring dengan pemulihan. Namun penyusutan kembali terpantau pada 2024, sementara pasar yang lebih luas tumbuh signifikan didorong oleh reli saham AS.
“Sejumlah faktor telah mempengaruhi minat investor terhadap dana berkelanjutan dalam beberapa tahun terakhir, termasuk kinerja strategi ESG yang rata-rata lebih rendah,” tulis Morningstar